Jakarta – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila Bambang Soesatyo mengatakan bahwa setelah mengalami empat kali perubahan Undang-Undang Dasar 1945, ternyata masih belum ada ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan oleh penundaan Pemilu.
Di masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi.
“Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan. Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, perlunya ‘pintu darurat’ sebagai jalan keluar apabila terjadi perselisihan konstitusi, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (21/10/2023).
Hal itu dikatakan Bamsoet dalam Dialog Kebangsaan yang diselenggarakan Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila di Jakarta.
Selain Budayawan Deddy Mizwar, hadir juga Ketua Bidang ESDM MPN Pemuda Pancasila Muslim, Ketua Bidang OK MPN Pemuda Pancasila Piala Simanjuntak, serta Anggota Bidang Seni dan Budaya MPN Pemuda Pancasila Dedi Gumelar.
Bamsoet menjelaskan jika terjadi keadaan yang membuat kepemimpinan bangsa dan negara terhenti karena bencana alam, pandemi, pemberontakan, kerusuhan, atau krisis keuangan, maka keadaan tersebut bisa diatasi oleh presiden dan wakil presiden.
Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun bagaimana jika terjadi situasi di mana presiden, wakil presiden, beserta triumvirat menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan menteri pertahanan lumpuh atau berhalangan secara serentak. Situasi bahaya tersebut tidak dapat diatasi oleh organ-organ konstitusional yang ada.
“Atau bagaimana jika keadaan darurat negara menyebabkan pelaksanaan pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tidak ada presiden dan wakil presiden yang terpilih sebagai produk pemilu. Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban atau kewenangan hukum untuk mengatasi keadaan bahaya tersebut?” kata Bamsoet.
Bamsoet mengatakan UUD 1945 seharusnya memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau ‘constitutional deadlock’.
Jika situasi seperti itu benar-benar terjadi, maka prinsip kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan bahaya tersebut.
“Sebagai representasi dari prinsip kedaulatan rakyat, maka seharusnya MPR kembali memiliki kewenangan subyektif superlatif. Sehingga dengan kewenangan tersebut dapat mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan untuk mengatasi dampak dari keadaan sulit yang tidak bisa diantisipasi dan dikendalikan secara wajar,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menjelaskan agar MPR RI kembali memiliki kewenangan subyektif superlatif, idealnya UUD harus diubah. Namun untuk saat ini, realitas politik masih belum memungkinkan. Apalagi saat ini seluruh partai politik fokus dalam menghadapi tahun politik menjelang pemilu serentak dan pilkada serentak tahun depan.
Salah satu alternatif lainnya adalah merevisi atau menghapus penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 7 tersebut menempatkan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan di bawah UUD dan di atas undang-undang. Namun, ketentuan tersebut dibatasi pada bagian Penjelasan, dengan menyatakan bahwa Ketetapan MPR yang dimaksud adalah Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku menurut Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
“Tentu ini menjadi persoalan, karena tidak seharusnya ketentuan dalam penjelasan membatasi norma yang diatur dalam pasal. Saat ini pengajuan judicial review terhadap ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf b tersebut sedang diajukan oleh Partai Bulan Bintang ke Mahkamah Konstitusi dan masih dalam proses persidangan. Jika dikabulkan, maka MPR akan memiliki kewenangan membuat Ketetapan yang bersifat pengaturan,” tambah Bamsoet.
(prf/ega)