Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas, Jarot Indarto, mengatakan pentingnya pemetaan ketersediaan sumber protein pangan lokal dalam upaya pencegahan stunting. Jarot menyebutkan bahwa di beberapa daerah, ketersediaan ikan dan sumber protein hewani lainnya masih kurang dan harganya menjadi mahal. Oleh karena itu, penting untuk memprioritaskan sumber protein hewani yang tersedia dan terjangkau sesuai dengan pemetaan ketersediaan komoditas pangan di suatu wilayah.
Jarot menambahkan bahwa konsumsi pangan lokal, termasuk pangan hewani, masih rendah. Pemetaan ini diharapkan dapat membantu desa dalam menyusun program pencegahan stunting yang efektif menggunakan alokasi dana desa sebesar 20 persen.
Selain itu, sanitasi juga menjadi faktor penting dalam mencegah stunting. Ketersediaan air yang memadai untuk produksi pangan dan konsumsi masyarakat harus dipastikan. Masalah sanitasi juga menjadi perhatian, terutama di pulau-pulau terpencil. Bappenas juga memprioritaskan upaya mencegah krisis energi, pangan, dan air.
Data dari Kelautan dan Perikanan Bappenas menunjukkan bahwa dalam rentang 2018-2022, jumlah tangkapan ikan meningkat. Namun, tidak ada peningkatan signifikan dalam konsumsi ikan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara ketersediaan dan permintaan produksi dan konsumsi ikan. Kurangnya rantai dingin dan masalah distribusi menjadi faktor utama dalam hal ini. Selain itu, keterbatasan akses, menurunnya daya beli, dan preferensi masyarakat juga berperan dalam konsumsi ikan yang stagnan dalam 15 tahun terakhir.
Untuk mengatasi hal ini, Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia telah melakukan pemetaan potensi pangan lokal di 50 kabupaten yang menjadi prioritas pencegahan stunting. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa kebanyakan anak usia balita mengalami kekurangan zat besi, kalsium, seng, dan asam folat. Pemetaan ini didasarkan pada data aktual konsumsi masyarakat setempat, sehingga rekomendasi yang dihasilkan mencakup sumber protein hewani lokal yang dapat diakses oleh masyarakat.
Pesan gizi yang disampaikan kepada ibu harus lebih spesifik dan tidak terpaku pada satu sumber protein, seperti telur. Diversifikasi pangan hewani diperlukan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.
Contohnya, dalam seminggu, pangan yang diberikan dapat beragam, termasuk ikan sebagai sumber seng, teri dan ikan kecil lainnya dengan kandungan kalsium yang tinggi, atau hati ayam yang relatif murah dan kaya akan zat besi. Penting untuk memastikan bahwa setiap suapan makanan yang diberikan kepada anak mengandung gizi yang cukup.
Studi AASH juga melihat rantai nilai pangan hewani seperti ikan, telur, ayam, dan hati ayam di Kabupaten Lombok Timur. Selain itu, dilakukan juga Workshop Agrifood untuk melihat persepsi berbagai stakeholder terhadap ketersediaan pangan lokal sumber protein.
Umi Fahmida, peneliti senior dari SEAMEO RECFON yang merupakan bagian dari AASH, berharap hasil penelitian ini dapat memberikan masukan berbasis data untuk membuat kebijakan terkait pencegahan stunting dengan cara memperbaiki rantai pangan sumber protein hewani.
Tim peneliti AASH terdiri dari berbagai disiplin ilmu, termasuk ahli gizi, peternakan, ekonomi pertanian, dan lingkungan pangan. Harapannya, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan terhadap strategi peningkatan konsumsi pangan yang lebih efektif.
Umi menambahkan bahwa keterlibatan seluruh sektor dari hulu ke hilir diperlukan dalam peningkatan konsumsi pangan. Hal ini bertujuan untuk memastikan produksi dan ketersediaan pangan yang cukup, harga