Berita  

KH Ahmad Dahlan: Memperbaiki Penentuan Kiblat

Dari Tanah Suci, Muhammad Darwisy kembali ke Yogyakarta dengan membawa nama baru, KH Ahmad Dahlan. Nama tersebut diberikan oleh gurunya di Masjidil Haram, Sayyid Bakri Syatha, karena sang guru melihat banyak kesamaan antara Muhammad Darwisy dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafii di Makkah.

Di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan memiliki tekad untuk berdakwah tajdid. Dia ingin meneguhkan praktik keagamaan yang sebenarnya, selaras dengan Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dia menolak taklid dan takhayul.

Salah satu langkah penting yang diambilnya ketika kembali ke kampung halaman adalah untuk meluruskan arah kiblat. Menurutnya, sebagian besar masjid di Yogyakarta, termasuk Masjid Agung yang dimiliki oleh Keraton, tidak menghadap ke arah Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah. Pandangan ini didasarkan pada ilmu falak dan ilmu bumi yang diperolehnya selama menuntut ilmu di Haramain.

Kiai Ahmad Dahlan berupaya untuk meyakinkan tokoh agama di Yogyakarta. Namun, ajakannya dan penjelasannya tidak membuat mereka berubah pendirian. Beberapa bahkan menuduhnya ingin mengubah “tradisi” Islam setempat.

Meski menghadapi berbagai rintangan, Kiai Ahmad Dahlan tidak menyerah. Dia meluruskan arah kiblat di Langgar Kidul (Mushala Selatan), tempatnya mengajar, dan menyuruh santrinya untuk mendirikan shalat di masjid Agung menghadap kiblat yang tepat. Tindakan ini memicu kegemparan di masyarakat dan di kalangan Keraton.

Namun, Kiai Saleh, kakaknya, berhasil meyakinkan Kiai Dahlan untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Dia lalu mendirikan Muhammadiyah untuk membantu memperbaiki pemikiran dan praktik beragama Islam di tengah masyarakat. Melalui Muhammadiyah, Kiai Dahlan mampu membuka jalan untuk mengembalikan Islam kepada kemurniannya.

Meskipun awalnya dianggap hendak mendirikan agama baru, keteguhan sikap Kiai Dahlan menyebabkan Muhammadiyah di kemudian hari diakui sebagai pelopor pembaruan Islam di Indonesia.

Exit mobile version