JAKARTA – Berbagai pihak menolak keras draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Salah satu pasal RUU itu menyebutkan, gubernur dan wakil gubernur Jakarta akan ditunjuk presiden. Pasal tersebut kini menuai polemik karena dinilai mempreteli demokrasi.
Mantan dirjen otonomi daerah Kemendagri Prof Djohermansyah Djohan mengatakan, undang-undang khusus untuk Jakarta memang harus segera dibuat. Menurut dia, UU yang mengatur Jakarta sebagai ibu kota negara sekarang sudah tidak relevan karena ibu kota negara akan dipindahkan ke Ibu Kota Nusantara di Kalimantan.
“Undang-undang yang mengatur daerah khusus Jakarta itu memang suatu kebutuhan karena UU yang mengatur Jakarta itu sudah berubah, karena Jakarta yang diatur dalam UU 29/2007 itu Jakarta sebagai ibu kota negara. Sekarang kan dia nggak jadi ibu kota lagi, ibu kotanya sudah pindah ke IKN, dengan UU 3/2022,” kata Djohermansyah, kepada Republika, Rabu (6/12/2023).
Djohermansyah mengakui, setelah mempelajari RUU DKJ ini, naskah RUU DKJ cukup baik, terutama mengenai pengembangan Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional, global city, sehingga harus ada kewenangan-kewenangan di bidang tertentu. Misalnya layanan publik yang lebih baik, kewenangan mengatur investasi, tenaga kerja, industri, dan perdagangan.
Namun, pakar otonomi daerah tersebut menyayangkan adanya sisi negatif dalam RUU ini yang dapat membuat demokrasi di Jakarta mundur. Sebab, dalam RUU itu, posisi gubernur dan wakil gubernur Jakarta tidak lagi dengan pemilihan, melainkan ditunjuk dan diangkat langsung oleh presiden yang sedang menjabat.
“RUU DKJ ini, tidak benarnya itu terkait gubernur dan wakil gubernurnya. Ujug-ujug ditunjuk dan diangkat presiden. Nah, itu mundur demokrasi kita. Mempreteli demokrasi itu juga saya sebut sebagai bertentangan dengan konstitusi,” kata Djohermansyah.
Djohermansyah berharap pemerintah menolak RUU DKJ, khususnya yang mengatur jabatan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk presiden. Sebab, jabatan tersebut berpotensi hanya menjadi sarana untuk mengakomodasi kepentingan politik praktis presiden yang sedang berkuasa.
Kalau yang diangkat jadi gubernur Jakarta orang tidak benar, atau karib keluarganya, itu kan mencederai demokrasi DJOHERMANSYAH DJOHAN, Mantan Dirjen Otonomi Daerah
Parahnya lagi, lanjut Djohermansyah, presiden dapat memberikan jabatan gubernur dan wakil gubernur Jakarta kepada orang yang tidak kompeten atau kepada karib kerabatnya. “Kalau yang diangkat jadi gubernur Jakarta orang tidak benar, atau karib keluarganya, itu kan mencederai demokrasi,” kata Djohermansyah.
Penolakan juga datang dari Badan Musyawarah (Bamus) Betawi. Ketua Umum Bamus Betawi Riano P Ahmad menolak ketentuan di draf RUU DKJ yang mengatur gubernur dan wakil gubernur Jakarta ditunjuk dan diangkat presiden. Aturan tersebut dianggap tidak sesuai dengan demokrasi. “Karena kalau gubernur dan wakilnya ditunjuk, kok kita jadi balik lagi ke jaman dulu, ya,” kata Riano.
Ia menjelaskan, penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden mencederai demokrasi dan hak pilih warga Jakarta dalam menentukan pemimpinnya. Riano tak rela hak politik warga Jakarta dikebiri dengan cara seperti itu. “Kita harus mundur ke belakang, sedangkan ke depan ini kan DKI tetap menjadi barometer,” kata dia.
Sekarang ini, lanjut dia, pemilihan ketua RT dan RW di DKI saja diserahkan ke masyarakat untuk memilih langsung. Ia berharap pasal penunjukan gubernur-wakil gubernur dibatalkan. “Itu membuat sesuatu hal yang janggal. Saya dari Bamus Betawi menolak, jangan kita mundur, mengebiri, mencederai demokrasi yang sudah berjalan baik dengan kepala daerahnya ditunjuk,” kata dia.
Di Pasal 10 ayat 1 dikatakan, Provinsi DKJ dipimpin oleh gubernur dan dibantu oleh wakil gubernur. Ayat 2 secara gamblang menyebut gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD. Poin itulah yang menuai polemik dan dinilai sebagai upaya pembajakan demokrasi.
Ayat 3 di pasal yang sama menyebutkan, masa jabatan gubernur dan wakil gubernur selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya ditunjuk dan diangkat kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Ayat 4, ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian gubernur dan wakil gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dengan peraturan pemerintah (PP).
Sementara itu, di pasal 4, Provinsi DKJ disebut nantinya akan menjadi pusat perekonomian nasional, kota global, dan kawasan aglomerasi. Sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat 2, Jakarta akan berfungsi sebagai pusat perdagangan. “Pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta kegiatan bisnis nasional, regional, dan global,” tulis RUU tersebut.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi menjelaskan maksud pemilihan gubernur Jakarta yang diatur dalam RUU DKJ. Menurut dia, hal tersebut tak menghilangkan demokrasi sepenuhnya.
“Gubernur Jakarta itu diangkat diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usulan atau pendapat dari DPRD. Sehingga usulan atau pendapat dari DPRD itu, DPRD akan bersidang siapa nama-nama yang akan diusulkan,” ujar Baidowi kepada wartawan, Selasa (5/12/2023).
Demokrasi itu tidak harus bermakna pemilihan langsung ACHMAD BAIDOWI, Wakil Ketua Baleg DPR RI
“Itu proses demokrasinya di situ. Jadi, tidak sepenuhnya proses demokrasi hilang karena demokrasi itu tidak harus bermakna pemilihan langsung,” kata dia melanjutkan.
Koordinator Staf Khusus Presiden RI Ari Dwipayana mengatakan, pemerintah saat ini tengah menunggu surat resmi dari DPR terkait naskah RUU DKJ. Ari menyampaikan, RUU DKJ tersebut merupakan inisiatif dari DPR. “Perlu diketahui bahwa RUU Daerah Khusus Jakarta merupakan RUU inisiatif DPR. Saat ini, pemerintah menunggu surat resmi dari DPR yang menyampaikan naskah RUU DKJ,” kata Ari.
Setelah menerima naskah RUU DKJ, Presiden akan menunjuk sejumlah menteri untuk menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah. Ari mengatakan, pemerintah terbuka terhadap masukan berbagai pihak dalam proses penyusunannya. “Dalam rangka penyusunan DIM, pemerintah terbuka terhadap masukan berbagai pihak,” ujarnya.
Ari melanjutkan, setelah DIM pemerintah disusun, Presiden akan menyurati DPR dan menunjuk sejumlah menteri untuk melakukan pembahasan dengan DPR. “Proses berikutnya, Presiden menyurati DPR, menunjuk sejumlah menteri yang mewakili pemerintah dalam pembahasan dengan DPR, disertai DIM pemerintah,” kata dia.