Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Undang-Undang (RPP UU) Kesehatan yang diharapkan selesai pada Oktober 2023 masih belum selesai. Bahkan, penolakan terhadap RPP UU Kesehatan, terutama yang terkait dengan pengaturan tembakau dan industri hasil tembakau semakin massif. Tidak hanya masyarakat dan petani tembakau, tetapi juga asosiasi IHT, pekerja kreatif iklan, asosiasi biro iklan, asosiasi media elektronik, asosiasi pengusaha ritel, pengamat ekonomi, pengamat kebijakan publik, dan beberapa kementerian terlibat dalam diskusi terbuka tentang RPP Kesehatan.
Secara umum, RPP Kesehatan yang disusun oleh Kementerian Kesehatan menuai protes dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Keuangan. Melihat kondisi tersebut, anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan.
Menurut Firman, Kementerian Keuangan mendapatkan manfaat dari industri tembakau berupa penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang meningkat setiap tahun. Tahun lalu, penerimaan CHT ke Kementerian Keuangan mencapai Rp218 triliun dan tahun ini meningkat menjadi Rp232,5 triliun. Firman menegaskan bahwa apa yang dialami petani tembakau dan pekerja industri tembakau yang berjumlah sekitar 6 juta jiwa sangat tidak manusiawi, padahal kontribusi mereka pada keuangan negara tidak boleh diremehkan.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nur Nadlifah, juga menyatakan pendapat yang serupa bahwa pasal tentang tembakau seharusnya dihapuskan dari RPP Kesehatan. Menurutnya, RPP Kesehatan memuat banyak larangan bagi produk tembakau, sehingga memberikan kesan bahwa produk tembakau seolah-olah dilarang, padahal produk tembakau jelas merupakan produk legal yang justru mendukung perekonomian negara. Nur Nadlifah mendesak Kementerian Kesehatan untuk lebih melibatkan petani, pekerja, dan seluruh elemen masyarakat yang terlibat di industri tembakau dalam pembuatan RPP Kesehatan.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto menegaskan bahwa dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan diperlukan kerja sama antar kementerian dan lembaga. Hal ini harus dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih dengan UU Cukai yang sudah ada.
RPP Kesehatan terkait Pengaturan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau yang dinilai merugikan kelangsungan ekosistem pertembakauan di Indonesia. Menurut Nirwala, kolaborasi antara kementerian terkait adalah hal yang diperlukan untuk menghasilkan peraturan yang tepat.