Jakarta –
Ketua DKPP RI Heddy Lugito menyatakan bahwa pada tahun 2023 pihaknya telah menangani 325 kasus. Setengah dari jumlah kasus tersebut terkait dengan rekrutmen penyelenggara Ad Hoc oleh KPU.
“Saya melaporkan bahwa selama tahun 2023, DKPP menangani 325 kasus, seperti yang disampaikan oleh Pak Doli. Dari 325 kasus pengaduan tersebut, 50% terkait dengan rekrutmen penyelenggara Ad Hoc oleh KPU, yaitu sejumlah 297,” kata Heddy dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024) malam.
Selain itu, 13% atau 82 kasus di antaranya terkait dengan rekrutmen badan Ad Hoc di Bawaslu. Heddy mengakui adanya masalah etika di penyelenggara KPU dan Bawaslu.
“Kemudian 13% dari kasus tersebut terkait dengan rekrutmen badan Ad Hoc oleh Bawaslu, sekitar 82 kasus. Jadi, seperti yang disampaikan sebelumnya, kita harus mengakui adanya masalah etika di penyelenggara Ad Hoc yang harus menjadi perhatian bersama, itulah fakta yang ada,” kata dia.
Menurutnya, masalah etika di KPU dan Bawaslu muncul karena kurangnya transparansi dalam rekrutmen penyelenggaraan Ad Hoc. Heddy juga menyoroti masih adanya keterlibatan anggota partai politik dalam penyelenggara Ad Hoc.
“Hal ini harus menjadi perhatian bersama, rekrutmen Ad Hoc tidak hanya diduga mengandung unsur transaksional, tetapi ternyata juga menghadapi masalah etika. Apa saja yang muncul dari sana?” ujar Heddy.
“Salah satunya adalah kurangnya transparansi dalam proses rekrutmen, serta banyaknya rangkap jabatan yang terjadi, serta keterlibatan anggota partai politik dalam penyelenggara Ad Hoc yang paling dominan,” lanjutnya.
Heddy menyebut bahwa dalam empat bulan pertama tahun 2024, pihaknya telah menangani 233 pengaduan. Ia meminta pemimpin dan anggota Komisi II untuk memahami proses yang sedang berlangsung.
“Selama empat bulan pertama tahun 2024, DKPP telah menangani 233 pengaduan. Saat ini, 90 pengaduan sedang dalam proses persidangan,” ujar Heddy.
“Saya meminta pemahaman dari para pemimpin dan anggota Komisi II bahwa jumlah pengaduan yang tinggi ini merupakan dampak dari beberapa hal yang belum terselesaikan, termasuk sengketa di MK dan pelanggaran Undang-Undang kampanye, Undang-Undang Pemilu oleh Bawaslu,” tambahnya.
(dwr/azh)