Berita politik prabowo subianto yang humanis, berani dan tegas

Leadership of Indonesian National Leader Major General TNI (Ret.) Suhario Padmodiwiryo (Hario Kecik)

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bercita-cita untuk mengubah kisah hidupnya menjadi film box-office suatu hari nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan dirinya itulah yang membuat kami melewati ujian kemerdekaan pertama dan menjadikan kami menjadi bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin merupakan ujian tersulit yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin bercerita tentang Hario Kecik. Setelah membaca buku hariannya pada tahun 2015, Memoar Hario Kecik: Otobiografi Seorang Mahasiswa TNI, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak memahami politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Dia adalah salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Dia adalah bagian dari Tentara Pelajar Indonesia (TRIP) dan menjadi komandan Korps Mahasiswa Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap pemuda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang mahasiswa, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira tinggi TNI.

Dia sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Barangkali karena pandangannya khas kiri; karena jiwanya yang populistik, dibentuk oleh pengalamannya dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan mereka karena pandai sekolah dan fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Dia bertempur melawan Pasukan Sekutu dalam momen-momen kritis dan menentukan, mulai Oktober hingga November 1945.

Dia memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran tersengit dan paling berdarah yang pernah dilakukan oleh Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, mengambil alih senjata-senjata Jepang, senapan, pistol, senjata mesin, dan meriam. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara menembakkan meriam tersebut. Namun, kita tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan tentaranya dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka lah yang membantu melatih anak-anak muda kita untuk menggunakan senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam anti-pesawat. Semuanya diceritakan dalam memoar Hario Kecik.

Pada 1 Oktober 1945, dia menulis bahwa sekelompok orang dan tentara dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka bermaksud merebut persenjataan Jepang.

Hario menggambarkan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sepenuhnya sadar bahwa saya adalah seorang yang tidak berarti, hanya salah satu prajurit di tengah massa yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada niatan untuk maju bersama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda dari desa. Pakaian kami menunjukkan betapa miskinnya kami.

Setelah merebut senjata, Hario Kecik mendirikan Polisi Militer Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), pendahulu korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Benar, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, diumumkan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi tersebut di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Ujian ini menguji apakah rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan.

Dalam pertempuran 10 November 1945, setidaknya 30.000 orang Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris tewas dan terluka.

Kami memiliki 30.000 korban utamanya karena keunggulan Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Pasukan Inggris mengerahkan lebih dari satu divisi, yang berjumlah sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal penjelajah, dan meriam. Anda bisa membayangkan kekuatan dan kekuatan tembak superior mereka dibandingkan dengan orang Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa tersebut, kita dapat melihat bahwa semua pihak di sisi Indonesia bersatu. Pemuda bersatu dengan rakyat jelata, pengemudi becak, petani. Semua bergabung. Mereka merebut senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit-unit perlawanan. Beberapa telah bergabung dalam batalyon yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti TNI pada 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri menjadi batalyon resmi. Mereka adalah batalyon bekas PETA. PETA adalah tentara sukarelawan yang diselenggarakan oleh Jepang, singkatan dari ‘Pertahanan Indonesia’.

Ada juga Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ada juga depan pemuda, pasukan basis dari berbagai komunitas. Beberapa terdiri dari siswa madrasah (sekolah Islam) dari Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok yang terdiri dari para mahasiswa, termasuk Hario Kecik dan rekannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok saat itu.

Kembali kepada Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi apa pun yang musuh tawarkan. Kami bukan ahli militer atau prajurit profesional. Kami hanya ingin tetap bebas.

Kami mengambil keputusan dan tekad yang disebutkan sebelumnya dalam suasana yang sulit dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, semangat, kesenangan, kemarahan mentah di hati para pemuda yang berkumpul di tempat itu hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa oleh suasana. Semuanya dimulai ketika saya bersama para pemuda, menggali parit pertahanan di halaman markas kami di Pasar Besar, saat kami mendengar kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa markas kami sulit untuk dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, benteng yang lemah, dan faktor lainnya. Namun, para pemuda bertekad untuk mempertahankan markas sampai kelelahan.

Akhirnya, setelah ‘pikiran intelektual’ saya menyerah kepada ’emosi’ atau ‘semangat’ saya, saya setuju dengan mereka. Kami hanya punya beberapa jam untuk mempersiapkan diri.

Malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dll. Kami sudah siap, dan tidak ada yang meragukan.

Kami mengalirkan strategi yang rumit ke dalam satu moto: Merdeka atau mati. Tidak ada yang mempertanyakan kekuatan musuh, dan tidak ada yang mempertanyakan kekuatan kami. Barangkali secara bawah sadar, kita semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat khawatir tentang itu. Kami harus melawan musuh besok saja.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Seperti itulah semangat yang memungkinkan kami untuk mempertahankan kemerdekaan kami. Seperti itulah semangat yang memungkinkan kami melewati ujian pertama kemerdekaan kami dan menyatukan kami menjadi bangsa. Ini mungkin ujian pascakemerdekaan yang paling sulit.

Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa berada di Surabaya pada saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan semangat seperti Hario Kecik dan teman-temannya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang selalu saya ajukan pada diri sendiri.

Oleh karena itu, setiap kali saya memberikan kuliah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia teladan.

Keberanian yang diwakili oleh Hario Kecik sangat jelas. Dia menetapkan contoh bagi generasi berikutnya, contoh bagi setiap warga Indonesia.

Source link