Neurodiversity atau neurodiversitas semakin populer dalam menggambarkan keberagaman cara kerja otak manusia. Istilah neurodivergent digunakan untuk menunjukkan perbedaan cara kerja otak individu dibandingkan dengan kebanyakan orang yang disebut neurotypical. Istilah ini tidak bersifat medis dan mencakup berbagai kondisi, baik dengan diagnosis medis maupun tanpa. Perbedaan ini bisa menjadi tantangan atau kelebihan tergantung pada karakteristik masing-masing individu.
Neurodivergent menekankan perbedaan dibandingkan dengan terminologi “normal” atau “abnormal.” Tiap otak berkembang secara unik dan perbedaan ini bisa tercermin dalam kemampuan tertentu seperti daya ingat yang kuat, kemampuan visualisasi, atau kemampuan matematika kompleks. Contohnya, anak dengan autism spectrum disorder mungkin memiliki kesulitan berinteraksi sosial tetapi memiliki bakat menggambar tanpa pelatihan khusus. Perbedaan cara kerja otak ini bukanlah cacat, melainkan variasi alami.
Beberapa kondisi yang sering dikaitkan dengan neurodivergent antara lain autism spectrum disorder, ADHD, dyslexia, dyscalculia, dan lain sebagainya. Meskipun tidak ada kriteria medis baku, kondisi-kondisi ini dapat menjadi referensi dalam memahami neurodivergent.
Individu neurodivergent mungkin menghadapi kesulitan dalam lingkungan yang tidak mendukung kebutuhan mereka. Namun, dengan penyesuaian sederhana, potensi mereka dapat berkembang optimal. Banyak tokoh sukses di dunia yang diyakini neurodivergent, seperti Temple Grandin, Sir Anthony Hopkins, Simone Biles, dan Greta Thunberg. Beberapa perusahaan juga menerapkan proses rekrutmen inklusif untuk menarik talenta neurodivergent.
Neurodivergent bukanlah kondisi yang bisa dicegah atau disembuhkan, melainkan bagian dari keragaman alami otak manusia. Dengan dukungan yang tepat, individu neurodivergent dapat memaksimalkan potensi mereka dan berkontribusi dalam berbagai bidang.