Jakarta – Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui resolusi gencatan senjata terkait konflik perang di Gaza. Resolusi PBB ini menyerukan adanya gencatan senjata kemanusiaan antara pasukan Israel dan militan Hamas di Gaza, Palestina.
Resolusi gencatan senjata kemanusiaan di Gaza ini diajukan oleh Yordania atas nama negara Arab dalam sidang pada Jumat (27/10/2023). Terdapat dukungan sebanyak 120 suara, 14 penolakan, dan 45 abstain terhadap resolusi Majelis Umum PBB ini.
Pemerintah Indonesia menyambut baik disetujuinya resolusi gencatan senjata kemanusiaan di Gaza dalam sidang Majelis Umum PBB tersebut. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyebut Indonesia termasuk salah satu yang mensponsori resolusi tersebut.
“Indonesia menyambut baik disahkannya resolusi Majelis Umum PBB menyikapi situasi Gaza (27/10). Indonesia termasuk salah satu co-sponsor resolusi tersebut,” tulis Kemlu di akun media sosial X pada Sabtu (28/10/2023).
Apa Itu Gencatan Senjata?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gencatan senjata artinya penghentian tembak-menembak (terkait perang) untuk sementara waktu, dimana kedua belah pihak sepakat menghentikan tindakan-tindakan agresif masing-masing.
Sementara itu, menurut Ensiklopedia Britannica, gencatan senjata berarti kesepakatan untuk berhenti berperang untuk jangka waktu tertentu sehingga kesepakatan permanen dapat dibuat untuk mengakhiri perang tersebut. Dalam hal ini, masing-masing negara mengirimkan perwakilannya untuk merundingkan gencatan senjata atau perjanjian gencatan senjata.
Perjanjian gencatan senjata disebut dapat menghentikan sebagian atau seluruh bentuk permusuhan (serangan dan lain-lain). Meskipun gencatan senjata total terlihat sama dengan berakhirnya perang, dalam hukum internasional, keadaan perang masih berlangsung di mana pihak yang bertentangan dan pihak netral masih memiliki hak dan kewajiban tertentu.
Majelis Umum PBB menyerukan resolusi “gencatan senjata kemanusiaan yang segera, tahan lama, dan berkelanjutan” antara pasukan Israel dan militan Hamas di Gaza. Resolusi ini merupakan respon resmi pertama PBB terhadap eskalasi kekerasan di Israel dan Palestina sejak serangan Hamas pada 7 Oktober, setelah Dewan Keamanan gagal mencapai konsensus dalam empat kesempatan sebelumnya.
Resolusi ini juga menuntut penyediaan pasokan dan layanan penyelamatan jiwa yang “berkelanjutan, memadai, dan tanpa hambatan” bagi warga sipil yang terdampak di wilayah Gaza. Hal ini merujuk pada laporan-laporan bahwa Israel telah memperluas operasi darat dan meningkatkan kampanye pengebomannya.
Resolusi gencatan senjata ini diajukan oleh Yordania atas nama negara Arab. Seperti dilaporkan oleh BBC pada Sabtu (28/10/2023), resolusi ini juga mengutuk semua tindakan kekerasan terhadap warga sipil Palestina dan Israel, termasuk “serangan teror tanpa pandang bulu”.
Meskipun resolusi ini tidak memiliki kekuatan hukum, resolusi ini tetap memiliki bobot moral karena universalitas keanggotaannya. Terdapat dukungan sebanyak 120 suara, 14 penolakan, dan 45 abstain terhadap resolusi gencatan senjata Majelis Umum PBB ini.
Pihak Israel dan Amerika Serikat (AS) sebagai sekutunya telah mengkritik keras resolusi gencatan senjata kemanusiaan di Gaza ini karena tidak mencantumkan nama Hamas di dalamnya. Israel menolak resolusi ini dan menyatakan bahwa mereka akan menggunakan “segala cara yang mereka miliki” dalam menghadapi Hamas.
“Hari ini adalah hari yang akan dianggap sebagai keburukan. Kita semua telah menyaksikan bahwa PBB tidak lagi memiliki legitimasi atau relevansi sedikit pun,” kata Duta Besar Israel Gilad Erdan dalam forum Majelis Umum PBB, seperti yang dilaporkan oleh AFP dan Al Arabiya pada Sabtu (28/10/2023).
(wia/imk)