Kepala Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengklaim bahwa penerapan cukai pada minuman manis kemasan (MBDK) akan mengikis daya saing industri. Cukai dikatakan sebagai beban karena biaya yang meningkat akan diteruskan kepada konsumen.
“Mengurangi daya saing di tengah perjuangan industri menuju kembali normal setelah pandemi Covid-19,” katanya pada hari Senin.
Pemerintah akan menerapkan cukai pada minuman manis kemasan pada tahun 2024 setelah sebelumnya ditunda. Pemerintah menargetkan penerimaan cukai dari MBDK sebesar Rp4,39 triliun tahun ini.
“Regulasi cukai MBDK sudah mencapai tahap akhir,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada 29 Januari 2024, seperti dilaporkan oleh Antara.
Dante mengatakan bahwa regulasi ini saat ini sedang disosialisasikan dan dikoordinasikan dengan pemangku kepentingan terkait, salah satunya adalah Kementerian Keuangan untuk merumuskan besaran cukai yang dibebankan.
“Kita akan melaksanakan ini secepat mungkin karena tidak ada hambatan nyata. Itu akan diratifikasi tahun ini,” kata Dante.
Sejauh ini, GAPMMI belum secara resmi diundang oleh pemerintah mengenai rencana cukai MBDK, jelas Adhi. Namun, GAPMMI telah melakukan diskusi dengan beberapa lembaga pemerintah mengenai kebijakan cukai tersebut.
“Kami belum secara resmi diundang oleh pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Keuangan. Namun, kami telah mendiskusikannya dengan beberapa lembaga pemerintah karena ada kabar tentang rencana tersebut,” katanya.
Pada dasarnya, GAPMMI menganggap kebijakan ini sangat tidak tepat.
“Terutama jika tujuannya adalah untuk mengurangi Penyakit Tidak Menular (PTM) yang disebabkan oleh gula,” ujar Adhi.
Terkait dengan proyeksi penurunan omset dalam industri minuman manis, GAPMMI masih meninjau besarnya. Namun, berdasarkan studi tahun 2012 mengenai minuman berkarbonasi manis, elastisitasnya sekitar 1,7 persen. Artinya, setiap kenaikan satu persen harga akan mengurangi penjualan sebesar 1,7 persen.