Perjanjian Giyanti: Asal Usul Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta

Pada tahun 1755, terjadi peristiwa penting yang dikenal sebagai Perjanjian Giyanti, yang menjadi tonggak awal pembentukan dua kerajaan besar di Jawa, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kerajaan Mataram Islam, yang pada masa lampau mengalami masa kejayaan dan kemunduran, terganggu oleh intervensi kolonial Belanda (VOC) yang menyulut konflik internal antara keturunan Amangkurat IV. Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) dan Raden Mas Said (Mangkunegara I) berperan penting dalam pecahnya persatuan Mataram, yang kemudian dibagi menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Peran VOC dalam penentuan suksesi Mataram semakin memperumit konflik, di mana VOC mengadu domba antara kubu Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi. Akhirnya, pada 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani, secara resmi membagi wilayah Mataram menjadi dua entitas politik yang terpisah. Namun, konflik masih berlanjut setelah Perjanjian Giyanti, dan akhirnya, Mangkunegara I menandatangani Perjanjian Salatiga, yang mengakui dirinya sebagai pemimpin Kadipaten Mangkunegaran.

Sebagai upaya perdamaian, pertemuan antara Sultan Hamengkubuwana I dan Pakubuwana III berlangsung di Lebak, Jatisari, lalu pada 13 Maret 1755, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat resmi didirikan. Pembangunan Keraton Yogyakarta dimulai pada Oktober 1755, menandai dimulainya era baru bagi Kesultanan Yogyakarta.

Sebagai penghormatan terhadap peristiwa bersejarah ini, Monumen Perjanjian Giyanti didirikan di Karanganyar, Jawa Tengah, sebagai simbol dari perpecahan Mataram dan kelahiran dua kerajaan besar di Jawa. Sejarah panjang dan kompleks pembentukan Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan pemahaman mendalam tentang proses sejarah dan perpecahan politik yang terjadi pada masa itu.

Source link